Rabu, 03 Oktober 2018

Gerakan Literasi Sekolah 2K18

Pentingnya Gerakan Membaca di Sekolah Dasar
                                           Oleh Rianto Muradi

“Manusia adalah produk dari kondisi sosial dan pengasuhan yang ia terima. Dari sana lahirlah manusia sebagai produk kondisi yang akan merubah kondisi dan pengasuhan berikutnya. Mesti diingat, bahwa kondisi akan berubah dengan patut jika manusianya terdidik, dan mau, serta mampu mendidik dirinya sendiri agar terus-menerus berubah sesuai dengan kondisi yang ada.”

------ V. Venable, quoting Karl Marx’s Third Thesis on Feurbach

 

Mampukah pendidikan "makes us not only what we are but who we are, and who we could become?” Di saat gempuran teknologi dalam bentuk popularitas media dan alat komunikasi (gadget) yang menyajikan teks dengan cara pembacaan yang unik dan berbeda merasuki siswa kita? Sesungguhnya permasalahan umum dalam dunia literasi di Indonesia adalah rendahnya emosi terhadap sumber informasi, salah satunya akses terhadap buku bacaan dan kegiatan pemanfaatan ruang perpustakaan sebagai wadah kegiatan membaca di sekolah dan ruang publik. Sementara transisi dari tradisi lisan ke budaya aksara setelah 71 tahun Indonesia merdeka masih menggunakan metode dan konten pengajaran berfokus pada pemberantasan buta huruf.

Terkait dengan buku sebagai salah satu sumber informasi, rendahnya minat dan gairah membaca, sebagian berakar dari masih kuatnya tradisi lisan dalam kehidupan sosial dan pola berpikir masyarakat Indonesia. Tawaran teknologi yang menawarkan kemudahan untuk mendapatkan informasi telah menjadi jalan pintas untuk membaca teks cetak (print). Membaca bermakna belum menjadi budaya yang tertanam kuat. Akibatnya, pengguna teknologi sering mengalami ‘gagap membaca media informasi’ yang ditandai dengan kurangnya sikap kritis dalam memilah dan mengevaluasi akurasi informasi, kurangnya pemahaman terhadap informasi, atau menyalahgunakan informasi secara tidak tepat.

Oleh karenanya tidak berlebihan jika masyarakat Kota Bandung, komunitas peduli pendidikan termasuk para praktisi pendidikan menggagas gerakan literasi sekolah (Geliats). Geliats lahir dari semangat  menumbuhkan minat baca di Kota Bandung yang masih rendah. Bahkan Walikota Bandung, Ridwan Kamil, pada launching Geliats Disdik Kota Bandung menyampikan bahwa minat membaca di Indonesia berada posisi ke 64 dari 65 negara yang disurfai minat bacanya. 

               Jika kita telisik khususnya literasi dasar (basic literacy) di SD selama ini berfokus hanya pada model kelas calistung konvensional (reading, writing, and counting ) melalui pendekatan teks secara literal yang tidak lagi relevan dengan kebutuhan dunia global yang bergerak secara cepat. Mengabaikan aspek bercakap, mendengar aktif, berhitung, memperhitungkan, merasa, dan menggambarkan (speaking, listening, calculating, perceiving, and drawing), sebagai bagian utama berbahasa yang utuh (language arts), sebagai persiapan kompetensi literasi dasar abad ke-21.

               Secara umum, tantangan dalam dunia literasi Indonesia dapat digolongkan dalam beberapa aspek sebagai berikut:  Anak memiliki akses yang terbatas terhadap sumber informasi terutama buku.

Di daerah terpencil, keterbatasan akses ini disebabkan oleh kondisi geografis yang menyebabkan harga buku dan pengiriman buku tidak terjangkau. Selain itu, produksi buku kebanyakan terjadi di Pulau Jawa dan sekitarnya. Keterbatasan akses buku juga antara lain disebabkan oleh kemiskinan dan prioritas pemenuhan kebutuhan yang masih berfokus pada kebutuhan pokok. Hal ini yang dialami oleh banyak keluarga di luar Pulau Jawa dan daerah lain di seluruh Indonesia. Namun, mirisnya bahkan anak-anak di kalangan kelas menengah di perkotaan terkadang tidak memiliki akses yang baik terhadap buku karena buku diletakkan di tempat yang tidak terjangkau oleh anak, seperti lemari kaca mewah di rumah-rumah, dan rak-rak perpustakaan yang tinggi, kadang berdebu, dan tidak ramah anak. Hal ini antara lain disebabkan oleh paradigma yang mengganggap buku sebagai benda koleksi, dan bukan media bagi anak untuk bermain, mengeksplorasi, dan berimajinasi.

                Ketersediaan sumber-sumber informasi terutama buku-buku yang berkualitas amat terbatas.Tersedianya buku-buku berkualitas yang mampu mengembangkan kecerdasan bahasa, visual, kognitif anak dengan konten yang relevan dengan usia dan topik pengajaran di dalam kelas sangat terbatas. Buku-buku untuk anak selama ini diproduksi dengan dua kepentingan dikotomis. Buku-buku pelajaran hanya diperuntukkan untuk mengajar di dalam kelas, dan buku-buku komersial kebanyakan diproduksi tanpa mempertimbangkan relevansinya dengan kurikulum pendidikan formal. Di samping itu, guru dan tenaga pendidik lainnya, tidak memiliki waktu dan dana untuk mencari bacaan komersial (beserta sumber informasi lain seperti koran dan majalah) yang relevan dengan topik pengajaran di dalam kelas.

                Buku tidak digunakan dalam kegiatan interaktif yang menarik dan berkelanjutan.

Hal ini berlaku untuk anak dengan semua tingkatan umur dan level kompetensi. Ketika anak sudah bisa membaca, maka dia akan dibiarkan membaca sendiri. Padahal, riset membuktikan bahwa ketika buku dibacakan nyaring (read-aloud) kepadanya, anak mampu mengembangkan imajinasi, juga respon kritis dan kreatif. Dalam level usia yang lebih tinggi, buku yang dibacakan nyaring dan digunakan untuk mengembangkan diskusi akan mengembangkan kemampuan kritis, analitis dan sintesis.

                Kurangnya figur teladan “pembaca ” di rumah, sekolah, dan lingkungan.

Memberi teladan mengenai asyiknya membaca dan menularkan virus membaca sangat strategis untuk meningkatkan minat baca anak. Karenanya, kegiatan membaca tereduksi menjadi aktivitas pembelajaran formal yang mengukur dan mengevaluasi anak dengan target tertentu. Orang dewasa belum mampu menjadi teladan yang memberi contoh bahwa membaca merupakan kegiatan yang menenangkan, menghibur, dan menyenangkan.

               Minat Membaca Anak Perlu Dirawat. Tingginya minat anak dan remaja terhadap teknologi belum dimanfaatkan untuk membuat bacaan lebih menarik dan mudah dijangkau oleh mereka. Anak-anak yang terlahir di era teknologi informasi (digital natives) membaca dan menulis dengan cara yang berbeda dari generasi sebelum mereka. Kecakapan ini belum terakomodasi di ruang kelas dan belum dimanfaatkan secara maksimal untuk meningkatkan kecakapan kognitif, sosial, bahasa, visual, dan spiritual.

                Pendidikan Literasi kecakapan utama membentuk kemampuan Berpikir Tinggi. Pembelajaran yang dilaksanakan oleh guru-guru di sekolah belum mampu mengembangkan kemampuan berpikir tinggi (high-thinking order) yang meliputi kemampuan analitis, sintesis, evaluatif, kritis, imajinatif, dan kreatif. Di sekolah, terdapat dikotomi antara belajar membaca (learning to read) dan membaca untuk belajar (reading to learn). Ketika anak sudah dapat membaca teks secara literal dengan fasih (fluent), orang dewasa berhenti mengajarkan membaca. Ketika mempelajari konten mata pelajaran seperti ilmu pengetahuan alam dan sosial, juga matematika, orang dewasa tidak mengunakan teks materi pelajaran untuk mengembangkan kemampuan berpikir tinggi tersebut. Tidak heran apabila di bangku perguruan tinggi, siswa kesulitan untuk mengembangkan dan mereproduksi cara berpikir ilmiah yang mencakup daya kritis, analitis, sintesis, dan imajinatif.

               Untuk mengatasi tantangan di atas dalam memberikan pelayanan pendidikan yang berkualitas suatu terobosan serius dan ikhtiar yang produktif-kreatif telah dikemas apik. Peran sosio-kultural dalam perspektif membangun ekosistem pendidikan dan kebudayaan yang berkarakter dengan dilandasi semangat gotong royong yang menjadi isu hangat, telah dikemas bernas menjadi bagian utama dalam regulasi penumbuhan budi pekerti  sebagaimana yang termaktub dalam Permendikbud Nomor 23 tahun 2015. Itulah kemudian menjadi fokus utama di unit Direktorat Pembinaan Sekolah Dasar, yang satu bentuk kegiatannya adalah menumbuhkan pembiasaan membaca melalui Gerakan Literasi Sekolah di SD dengan membaca buku nonteks selama 15 menit sebelum pembelajaran di mulai.

               Kehadiran Gerakan Literasi Sekolah (GLS) melalui pembiasaan membaca 15 menit ini, secara hakikat dan falsafati memposisikan Bahasa Indonesia menjadi perekat, menjalankan fungsinya dengan baik seperti yang diamanatkan dalam Sumpah Pemuda butir ketiga (3) menyatakan, “menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia yang memiliki makna pengakuan terhadap keberadaan ratusan bahasa daerah yang memiliki hak hidup dan peluang penggunaan bahasa asing sesuai dengan keperluannya”. Selanjutnya, UU no 24 tahun 2009 tentang bendera, bahasa, dan lambang negara serta lagu kebangsaan, khususnya pasal 26 sampai dengan 39 tentang aturan penggunaan Bahasa Indonesia; pasal 40, 41, 42 mengenai pengembangan, pembinaan dan perlindungan Bahasa Indonesia; Pasal 43, pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa daerah; Pasal 44 tentang peningkatan fungsi Bahasa Indonesia sebagai bahasa Internasional; Pasal 45 tentang Tugas Fungsi Lembaga Kebahasaan di Indonesia.

               Bangsa Indonesia di bawah NKRI yang memiliki lebih kurang 746 bahasa daerah membutuhkan pola pendidikan literasi yang berdiferensiasi sejak SD kelas rendah sebagai wujud pendidikan multikukultural dan Ke-Bhinekaan Tunggal Ika. Peran sosiokultural dalam praktik-praktik perkembangan bahasa ibu yang memandang siswa dengan cara manusiawi dan unik menjadi gaya hidup yang alamiah, saling memediasi untuk mampu 'Mengubah sejarah kemanusiaan menjadi lebih baik” dalam proses pendidikan di sekolah kita, tanpa mengikis pesan budaya dan latar sosial siswa yang beragam. Jika kemudian memilih satu bahasa bersama yaitu Bahasa Indonesia, sungguh merupakan satu pendekatan yang sangat genius dalam merayakan perbedaan sekaligus merayakan persatuan dalam proses pelayanan pendidikan nasional.

               Pertemuan PBB di Praha (2003) yang merumuskan “Information Literacy” meski telah 13 tahun berlalu, namun belum terlambat bagi Indonesia yang multikultural ini untuk bangkit menentukan arah konsep pembelajaran berbasis literasi untuk mempersiapkan kompetensi abad ke-21.

               Saatnya guru kita memiliki "Konsep medias budaya", bagaimana budaya sebagai pintu masuk proses psikologis dipahami guru sebagai sejatinya pendidik, sehingga ia mampu memahami dirinya sebagai pribadi yang unik, di antara 30 an siswa didiknya yang datang dari beragam latar budaya yang juga unik dan beragam setiap hari hadir di dalam kelas. Gerakan Literasi sekolah menjadi "Living Knowledge in Practice". Oleh karena pendidikan selalu akan menjadi proses kebudayaan. Guru dan siswa didiknya saling belajar untuk membangun kepekaan sebagai manusia pembelajar sejati sepanjang hidupnya.** Disarikan dari berbagai sumber, penulis penggerak literasi Kota Bandung.

        Untuk itu SMP DTBS PUTRA melaksanakan kegiatan GLS "GERAKAN LITERASI SEKOLAH TIP HARI SELASA.



Hakikat Kemerdekaan Untuk Santri

Rabu, 16 Agustus 2023

Humas SMP DTBS Putra More

Makna Upacara Bendera More

Di Mana Dicari ‘Pemuda Kahfi’?

Rabu, 02 September 2015

Adakah pemuda bermental seperti para pemuda Kahfi itu? Jika ada, di manakah ia kini? Insya Allah, para ‘pemuda Kahfi’ akan selalu terlahir di setiap zaman. More



© 2023 smpdtbs All rights reserved.