Alhamdulillah tepat di tanggal 17 Agustus 2018 tim akhwat smp dtbs putra mengikuti lomba merias tumpeng antar civitas SMP, SMK, dan SMA. kegiatan ini diikuti oleh delapan orang guru akhwat dari tim smp dtbs putra. Tim smp dtbs putra merias dua tumpeng yang sudah disediakan dengan tema "Memperingati HUT Republik Indonesia ke-73". Kegiatan ini juga sebagai salah satu sarana silaturahim antar civitas agar tercipta kerjasama dan kebersamaan antar civitas. Maknanya adalah mempererat tali persaudaraan. Semoga kegiatan ini akan terus berlangsung setiap tahunnya.
Ibu Aline Novita Dewi, M.Pd menyatakan bahwa, "kegiatan ini bagus sekali dilaksanakan setiap tahunnya, agar seluruh civitas dapat bersilaturahim serta mempererat rasa persaudaraan. Meskipun kita beda divisi tapi kita tetap dalam satu naungan DT. Semoga menambah riyadah kita dalam membangun tali silaturahim".
mengutip dari lama http://dewantaramagazine.blogspot.com/2015/03/makna-simbolis-nasi-tumpeng.html menyatakan bahwa tumpeng
adalah cara penyajian nasi beserta lauk-pauknya dalam bentuk kerucut;
karena itu disebut pula ‘nasi tumpeng’. Olahan nasi yang dipakai umumnya
berupa nasi kuning, meskipun kerap juga digunakan nasi putih biasa atau
nasi uduk. Cara penyajian nasi ini khas Jawa atau masyarakat Betawi
keturunan Jawa dan biasanya dibuat pada saat kenduri atau perayaan suatu
kejadian penting. Meskipun demikian, masyarakat Indonesia mengenal
kegiatan ini secara umum. Tumpeng biasa disajikan di atas tampah (wadah
bundar tradisional dari anyaman bambu) dan di daun pisang batu.
Falsafah
tumpeng berkait erat dengan kondisi geografis Indonesia, terutama pulau
Jawa, yang dipenuhi jajaran gunung berapi. Tumpeng berasal dari tradisi
purba masyarakat Indonesia yang memuliakan gunung sebagai tempat
bersemayam para hyang, atau arwah leluhur (nenek moyang). Setelah
masyarakat Jawa menganut dan dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu, nasi
yang dicetak berbentuk kerucut dimaksudkan untuk meniru bentuk gunung
suci Mahameru, tempat bersemayam dewa-dewi.
Meskipun tradisi
tumpeng telah ada jauh sebelum masuknya Islam ke pulau Jawa, tradisi
tumpeng pada perkembangannya diadopsi dan dikaitkan dengan filosofi
Islam Jawa, dan dianggap sebagai pesan leluhur mengenai permohonan
kepada Yang Maha Kuasa. Dalam tradisi kenduri Slametan pada masyarakat
Islam tradisional Jawa, tumpeng disajikan dengan sebelumnya digelar
pengajian Al Quran. Menurut tradisi Islam Jawa, “Tumpeng” merupakan
akronim dalam bahasa Jawa: yen metu kudu sing mempeng (bila keluar harus
dengan sungguh-sungguh). Lengkapnya, ada satu unit makanan lagi namanya
“Buceng”, dibuat dari ketan; akronim dari: yen mlebu kudu sing kenceng
(bila masuk harus dengan sungguh-sungguh). Sedangkan lauk-pauknya
tumpeng, berjumlah 7 macam, angka 7 bahasa Jawa pitu, maksudnya
Pitulungan (pertolongan).
Tiga kalimat akronim itu, berasal dari sebuah doa dalam surah al Isra’ ayat 80:
“Ya
Tuhan, masukanlah aku dengan sebenar-benarnya masuk dan keluarkanlah
aku dengan sebenar-benarnya keluar serta jadikanlah dari-Mu kekuasaan
bagiku yang memberikan pertolongan”.
Menurut beberapa ahli
tafsir, doa ini dibaca Nabi Muhammad SAW waktu akan hijrah keluar dari
kota Mekah menuju kota Madinah. Maka bila seseorang berhajatan dengan
menyajikan Tumpeng, maksudnya adalah memohon pertolongan kepada Yang
Maha Pencipta agar kita dapat memperoleh kebaikan dan terhindar dari
keburukan, serta memperoleh kemuliaan yang memberikan pertolongan. Dan
itu semua akan kita dapatkan bila kita mau berusaha dengan
sungguh-sungguh.